"Action will remove
the doubts that theory cannot solve."
~ Tehyi Hsieh
Saya lagi
galau segalau-galaunya. Sudah dari lama saya pengin merayakan ulang tahun di
puncak gunung Lawu, gunung yang letaknya tidak terlalu jauh dari kota tempat
tinggal saya di Solo. Sedikit absurb sih mimpi saya mengingat track record
saya yang lebih doyan jadi anak pantai dan baru pernah sekali naik gunung,
semeru, awal tahun lalu. Hal yang bikin galau kuadrat adalah ketika ide muncak
di gunung lawu difloor kan, teman-teman saya yang sudah pro
menanggapinya dengan serius. Terlebih tanggal dimana saya akan menjajaki puncak
hargo dumilah (nama puncak gunung Lawu) tepat saat saya berulangtahun. What
a wonderful fluke.
Kegalauan
saya tidak berhenti di sini, tepat bulan Juni saya harus mengikuti progam magang dari kampus yang hukumya wajib, sebagai
syarat untuk mengikuti ujian OSCA dan Ujian Skripsi. You may said “ yaudah biasa aja sih”. But let me told you, saya mahasiswa yang juga merupakan karyawan di
sebuah rumah sakit swasta. Saya
ngantor senin-sabtu jam 08.00-14.00 WIB di lanjut magang senin-sabtu jam
14.00-20.00 WIB, untungnya rumah sakit tempat saya bekerja pengertian saya
dapet dispensasi bisa cabut jam 12.00 atau 13.00 asalkan pasien sudah habis.
Mana sempet saya latian fisik (baca: jogging-joging cantik) buat persiapan ke
lawu.Well walaupun rencana trip kali
ini cukup singkat 8-9 Juni dan saya bakal tracking
selepas Isya pada tanggal 8 Juni, tapi saya tetep harus minta ijin dari tempat
magang. Duhhhh
Bodrex Extra, meredakan sakin kepala yang membandel |
Warung Mbok Yem tersohor dengan nasi pecel andalan |
Tracking kali ini persiapan fisik saya
lebih abal dari persiapan ke Pulau Sempu. Ngga sempet mau jogging-joging
cantik. Dari base camp ke post 1
semua masih berjalan lancar, jalan setapak membelah hutan cemara, gelap dan
udara dingin masih bisa saya tahan. Pos 2 ke post 3 jalanan mulai bervariasi,
jalan berbatu dengan sesekali tanjakan yang lumayan bikin saya lemes. Paham kan
kapasitas saya yang sekelas atlit profesional, kalo 3 temen saya mah tetep
santai.
Mulai post 3
jalan berbatu selalu menanjak nyaris tanpa bonus. Nafas saya makin ngos-ngosan,
malam yang gelap, tapi bulan bersinar super terang, ditambah lagi sorot lampu
head lamp pendaki lain yang kebetulan berpapasan. Siksaan di mulai dengan yang
namanya ondo rante,
tangga batu tertata rapi tapi selalu sukse bikin drop mental banyak pendaki
termasuk saya. Jarak antar anak tangga (ondo) yang lumayan tinggi, medan yang
terjal, fisik kelelahan dan udara malam Lawu yang terkenal sedingin es. Saya sudah mewek
nyaris putus asa tidak mau melangkah. Bukan karena lelah, tapi melihat banyaknya pendaki lain yang sudah bobok manja di tenda kaki saya mogok di ajak jalan dan secara spontan air mata mengucur. Belum lagi ada sekelompok mas-mas yang tracking bareng saya, salah seorang angotanya berbadan kekar tampangnya sudah kelelahan jadi setiap beberapa meter berhenti. God, I can control my emotion, menurut saya medan di Lawu jauhhhhhh lebih berat dari Semeru. But big thanks buat Arini ngegandeng saya dari tempat saya mewek sampe sendang dajat. Ternyata it only takes 10 minute dengan jalan landai. See, memutuskan untuk naik gunung banyak yang harus kita persiapkan, ijin orang tua, peralatan memadiahi,logistik, fisik dan 100% mental.
Siksaan ondo rante telah terlalui, jalannya sudah banyak bonus, rencananya kami akan ngecamp di Mbok Yem,
menyusul tema-teman saya yang sudah berangkat duluan. Tapi sampai di Sendang
Drajat ( setelah pos 5 ) kami sudah kepayahan, sedikit ragu untuk melanjutkan
perjalanan ke Mbok Yem karena jam yang sudah menunjukan pukul 3 dini hari.
Cukup banyak orang yang nge-camp di sendang drajat, 20 tenda lebih lah. Belum lagi para
pendaki yang tidur di dalam warung merangkap selter. Bergegas kita mendirikan tenda,
menyalakan kompor dan membuat kopi. Sesekali saya menatap warung yang juga merupakan selter di depan saya, kemudian muncul halusinasi “andai warung itu udah buka, tempe anget enak ni”. Dari pada
otak saya terus meracu, saya buru masuk ke tenda dan bergumul mencari
kehangatan di dalam selaping bag
saya.
Pagi buta tiga orang teman saya sudah ribut ngga sabar
mau foto, kebetulan langitnya cerah, awannya bersih. Foto, iya hanya itu yang
kita boleh ambil dari gunung. Mata saya masih lengket selengket lengketnya,
saya membiarkan mereka bertiga berlalu. Setelah mata saya mulai bersahabat saya
mulai merapikan diri, dan merasa sesuatu tidak beres. I got my period, first day kampret!. Memang sih sudah tanggal
saya dapat “tamu bulanan” tapi ngga di gunung juga kan -____-
Pasang pembalut dan segala tetek bengeknya, kemudian saya
cek kotak obat saya, ternyata masih ada Bodrek tablet. Sudah jadi tradisi saya
kalo hari pertama badan suka demam-demang ngga jelas. Aman. Saya raba jidat, tutup mata dan merasakan kalo badan saya udah
mulai demam-demam ngga enak. Ngga pake
babibu, buruan saya minum, karena Bodrex tablet bisa di minum sebelum makan.
Bodrex, bisa diminum sebelum makan |
Hal yang paling menyenangkan di gunung adalah keakrapan
antar pendaki, ternyata tepat di samping tenda saya ada tenda mas-mas yang saya
temui ketika berangkat kemarin. Bermodal senyum nyengir kuda saya memulai
obralan dengan mereka. Ternyata salah satu angota yang berbadan kekar dengan tampang
super kelelahan kemarin, sebut saja Juli Panter sedang meringis menahan sakit.
Mas Juli Panter migren, kata temanya gegara mikirin mantan tunangannya yang rencananya dinikahi akhir tahun ini malah ditikung temenya sendiri. Tsahhh, drama
kehidupan.
"Sakit kepala sebelah ternyata lebih sakit dari sakit
hati” ceplosan konyolnya bikin kita semua ngakak. Namanya di gunung semua adalah teman, saya
inget di kotak obat saya ada Bodrex Migra. I offer it to mas Juli Panter.
“Makasih ya dek, nanti tak minum habis bikin mi, biar ngga grogi”. Dari obrolan ringan di ketinggian saya tau kalo mas Juli Panter CS cukup pro urusan naik gunung, Rinjanipun sudah di gagahi. Best quote of the day dari mereka adalah "Lelaki sejati tidak membawakan edelweis untuk kekasihnya, tetapi dengan sabar menuntun kekasihnya menyaksikan edelwise di tempat dia hidup" pecah banget. Well, badan saya udah mulai enakan, ngga demam lagi, jadi saya cukupi berbincang manis dengan Mas Juli Panter cs, saya buru menyusul
tiga teman saya.
Puas berfoto ria, biar besok ada bukti otentik buat di
ceritakan ke anak cucu, kami bergegas berkemas, menuju warung mbok yem. Karena
6 teman saya pasti sudah khawatir menunggu kami (kaya ada yang ngawatirin aja
:p ). Jalan dari Sendang Drajat ke mbok yem penuh dengan bonus,
jalan yang landai ditambah pemandangan yang bikin breathless.
View dari Sendang Drajat ke Hargo Dalem (Warung Mbok Yem) |
Langit biru dan jalan yang penuh bonus |
Sampai di warung mbok yem kami hanya mendapati carrier dan day
pack teman-teman saya. Zonk, mereka sudah muncak duluan. Ngga nunggu sampe
besok, kami buru nyusulin mereka. Jarak antara mbok yem dan puncak tidak
terlalu jauh kisaran 30 menit buat yang jalannya cepet. Karena saya bakat atlit profesional
saya butuh waktu hampir 50 menit. Di tengah perjalanan saya berpapasan sama
teman-teman saya yang udah mau turun, kampret !!!
“Ngapain muncak bawa daypack sama carrier, di tinggal di
mbok yem aja kan bisa” jlep, saya langsung bengong. Iyaa, bego banget sih
bawa-bawa daypack. Yaudah karena terlanjur basah ya saya lanjutin aja ngeteng
daypack saya ke puncak. Anwy, berbekal skill
nyepik saya yang lumayan jago, temen-temen yang pada mau turun akhirnya mau
muncak lagi.
Awan yang biru
langit putih bersih, seperti gula-gula kapas beterbangan di udara. Haru
terselip, inget gimana kemarin saya sempet mewek, inget Arini yang ngegandeng saya, inget akhirnya saya bisa ulangtahun di ketinggian, inget tanggal 5 kemarin bapak saya juga
berulangtahun. Puas
foto-foto, naga-naga di perut sudah berontak minta di kasih makan dan kita pun menuju
warung mbok yem. Kali ini saya cuma butuh waktu 20 menit-an. The power of luwe*
(*lapar).
Perut kenyang hati senang, sayang gantian alam yang galau, hujan yang
awalnya rintik berubah ganas. Akhirnya kita tidur-tiduran manja dulu di selter
mbok yem. Sekitar pukul 11 saat hujan tidak lagi marah, kami pamitan ke mbok
yem untuk turun gunung. Ngga kehabisan akal, teman saya yang sudah tau kapasitas saya yang sekelas atlit profesional nyuruh saya jalan di depan, yakin deh kalo saya jalan di belakang bisa ketinggalan jauh. Hahahaha.
Perjalanan pulang cukup menyenangkan, saya yang waktu beangkat jadi sweaper gegara banyak berhenti, di perjalanan pulang saya jadi leader *minta di toyor*. Saat melewati sendang drajat, saya bertemu dengan rombongan mas Juli Panter yang bersiap akan menuju puncak Lawu. FYI : Mas Juli Panter sudah bisa senyum mengembang sempurna, bukan senyum kecut dengan tampang hidup segan mati tak mau, seperti tadi pagi. He said thank you, Bodrex Migra terbukti tepat sasaran.
Bodrex Migra, ampuh mengatasi sakit kepal sebelah |
Sampai di Cemoro Sewu saya mulai membongkar tas, mengeluarkan sampah yang sedari kemarin saya jejalkan didalamnya, menyatukan dengan sampah yang lain di trash bag yang di bawa teman saya. Karena di alam kita tidak boleh meninggalkan apapun kecuali jejak, mengambil apapun kecuali gambar dan membunuh apapun kecuali waktu.
Sembari menikmati teh hangat dan tempe goreng, saya menyalakan hp. Ucapan selamat ulang tahun mengalir dari keluarga, sahabat, gebetan, mantan pacar, mantan gebetan, ibu kantin dan masih banyak lagi. Saya terharu dan mewek lagi. Ada satu pesan paling jlep dari Ayah, begini bunyinya " Mbak naik gunung itu seperti kamu mengejar cita-cita, capek, berat, terjal dan kadang membuatmu nyaris menyerah. Tapi kamu harus terus melangkah, karena ngga ada orang lain yang bisa mengantikan langkahmu untuk membawamu sampai puncak. Teriring doa, selamat ulang tahun semoga panjang umur, sehat, bahagia, barokah dan menjadi anak yang solehah" aamiin.
Cukuplah memori yang terpatri, gelak canda tawa bersama sahabat, obrolan di ketinggian dan berbagai pelajaran yang akan saya bawa pulang ke rumah sebagai buah tangan.
Note :
- Ada satu varian Bodrex lagi yang ngga pernah absen dari kotak obat saya tiap kali ngetrip, yaitu Boderex Flu dan Batuk berdahak. Untuk traveling saya selalu bawa yang tablet, easy carry dan ngga ribet. Tapi kalo untuk di rumah saya prefer Bodrex Flu dan Batuk berdahak yang sirup, cepat tuntas atasi flu dan batuk berdahak.
- Saya sering mendapati banyak yang males membawa obat saat ngetrip. "Ahh paling obatnya juga ngga kepake", ingat apa saja bisa terjadi saat ngetrip, persiapan yang memadahi itu wajib hukumnya. Tidak semua tempat menjual obat yang cocok untuk kita. Kalo saya sih doyan bawa kotak obat, bukan berdoa biar sakit, tapi antisipasi dan kalo-kalo ada pejalan lain yang membutuhkan obat saya. Share and care.
Bodrex Flu dan Batuk Berdahak |
hai mbak bodrex... ;))
BalasHapushai mbak ahli gizi
Hapuswoow kayanya Lawu lagi rame yah? selamat yaa atas tripnya.
BalasHapusIya mas, weekend soalnya.
HapusThankyou sudah mampir ^^